Minggu, 21 September 2025

SUMBU TENGAH Carries the Indonesian Mahakam River to the Global Forum The Home River Bioblitz 2025


The Mahakam River, which flows through the capital of East Kalimantan, Samarinda, is the sole representative of Indonesia at the global forum, The Home River Bioblitz (THRB) 2025.

The THRB implementation in Samarinda was initiated by the public literacy community, SUMBU TENGAH, under the theme "Observe and Save Mahakam."

According to the official THRB partner's website, iNaturalist.org, 14 countries from various continents simultaneously held this event from September 19–21, 2025, across more than 60 rivers in Europe, Africa, Asia, and America.

These 14 countries included Mexico, Thailand, Chile, Colombia, the United States, Tanzania, Peru, Argentina, Italy, Kenya, Poland, Switzerland, the Dominican Republic, and Indonesia.

Of all the participants, Mexico had the most locations with 26 river and natural area points, followed by Thailand with 9 rivers.

THRB is designed as a collaborative and participatory activity that connects the global community with a concern for rivers. In addition to iNaturalist, the event also collaborated with the National Geographic Society.

In Samarinda, the THRB Mahakam River event took place on Sunday (September 21, 2025), from morning until noon.

This 5th edition of SUMBU TENGAH also involved various partners, including the Alumni Association of the Faculty of Forestry at Mulawarman University, the Alumni Association of Master's and Doctoral Environmental Science (IAMDIL) Unmul, the East Kalimantan Forestry Department, DSylva Mulawarman and Mapflofa Fahutan Unmul, the Ulin Foundation, the Indonesian Environmental Experts Association (P-TALI) Kaltim, and Labtek Apung Jakarta.

The event was centered at Taman Bebaya, with the attendance of the Director of Pusrehut/UPT LSHK Unmul, Ali Suhardiman; member of the East Kalimantan Regional House of Representatives, Sarkowi V Zahry; public historian Muhammad Sarip; literacy activist Utih Arum Zahra; and volunteers from the Samarinda City Environmental Agency.









Jumat, 08 Agustus 2025

Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai dan Belanda 1825

Tanggal 8 Agustus 2025 menandai 200 tahun sejak penandatanganan perjanjian pertama antara Kesultanan Kutai dan Pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian yang ditandatangani di Tenggarong pada 1825 itu menjadi tonggak awal relasi kuasa antara Kutai dan Hindia Belanda. Ini adalah sebuah peristiwa penting dalam sejarah Kalimantan Timur yang ironisnya jarang mendapat perhatian publik, bahkan dari negara.

Sejarawan publik Muhammad Sarip menekankan pentingnya momentum ini sebagai bagian dari narasi sejarah nasional yang selama ini terpusat pada Pulau Jawa.

“Pada 8 Agustus 1825, Kesultanan Kutai dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salihuddin. Pemerintah Hindia Belanda diwakili oleh George Muller sebagai utusan Gubernur Jenderal di Batavia. Kesepakatan terjadi secara damai tanpa didahului konflik kekerasan ataupun peperangan,” terang penulis buku Histori Kutai itu, di Samarinda (7/8/2025).

Namun, menurutnya, sejarah Kalimantan Timur masih terpinggirkan. Pemerintah pusat lebih memberikan atensi pada peringatan 200 tahun Perang Jawa atau Perang Diponegoro, yang dirayakan secara besar-besaran di Jakarta oleh Perpustakaan Nasional RI dan Kementerian Kebudayaan RI, dengan seremoni sebulan penuh dari 20 Juli hingga 20 Agustus 2025.

Bahkan, penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia yang dilakukan Kemenbud tidak melibatkan Kalimantan Timur. Narasi kerajaan dan kesultanan lokal tidak jelas posisinya dalam buku yang menurut Menbud akan diluncurkan 17 Agustus mendatang.

“Karena itu, Kaltim termasuk Kutai Kartanegara perlu mengambil inisiatif sendiri. Forum literasi publik menjadi ruang alternatif untuk menghidupkan kembali ingatan kolektif atas sejarah ini,” kata Sarip.

Dari kiri: Rusdianto, Lambang Subagiyo, Aji Mirni Mawarni, Susilo, Aji Muhammad Mirza Wardana, Muhammad Sarip (Foto: Noviannur)

Salah satu respons terhadap pengabaian ini datang dari entitas literasi publik Sumbu Tengah, yang berkolaborasi bersama Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Mulawarman dan Lasaloka-KSB.

Diskusi publik digelar di Universitas Mulawarman pada 8 Agustus 2025. Diskusi bertema “Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda 1825: Refleksi Historis dan Dampak Multidimensi bagi Kutai-Kaltim” ini menghadirkan anggota DPD RI Dapil Kaltim Aji Mirni Mawarni sebagai keynote speaker.

Kemudian dihadirkan narasumber Aji Muhammad Mirza Wardana (Petinggi Sempekat Keroan Kutai dan anggota DPD RI 2014–2019), Muhammad Azmi (akademisi Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Unmul), dan Muhammad Sarip sendiri.

Founder Sumbu Tengah, Rusdianto, menyebut bahwa sejarah lokal tidak bisa menunggu diakui oleh pusat.

“Kita yang harus memulai. Momentum 200 tahun ini adalah angka spesial yang tak bisa diulang. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Peringatan berikutnya adalah 250 tahun di 2075,” ujarnya.

Rusdi juga menekankan bahwa forum publik bukan sekadar seremoni, tapi bentuk pembelaan terhadap sejarah lokal yang dilupakan. “Literasi sejarah harus berbasis riset, sumber primer, dan dihidupkan kembali lewat ruang-ruang publik yang kritis,” pungkasnya.



Pembacaan naskah teks Arab Melayu perjanjian Sultan Kutai dan Hindia Belanda 8 Agustus 1825 dalam Diskusi Publik Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda 1825 di Kampus FKIP Universitas Mulawarman Samarinda, 8 Agustus 2025; dari kiri: Muhammad Azmi, Rusdianto, Muhammad Sarip, Aji Mirni Mawarni. (foto: Noviannur)

Kabid Kebudayaan Disdikbud Samarinda Barlin Hady Kesuma menjadi peserta Diskusi Publik Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda 1825 di Unmul 8 Agustus 2025 (Foto: Muhammad Fajar Saputra)

Sesi tanya jawab Diskusi Publik Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda 1825 di Kampus FKIP Universitas Mulawarman Samarinda, 8 Agustus 2025; dari kiri: Ahmad Mamat Shauransyah (guru), Yulita Lestiawati (masyarakat), Rayhan Rukmana (mahasiswa PPS FKIP Unmul. (Foto: Muhammad Fajar Saputra)

Sesi tanya jawab Diskusi Publik Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda 1825 di Kampus FKIP Universitas Mulawarman Samarinda, 8 Agustus 2025; dari kiri: Artha Mulya (Dewan Budaya Nusantara Kaltim), Sri Wahyuningdiah (ASN), Sainal (dosen PPS FKIP Unmul). (Foto: Muhammad Fajar Saputra)


Senin, 28 Juli 2025

Jurnalis Senior, Duta Bahasa, Duta Baca, Sejarawan, hingga Ventrilokuis Bahas Problematika Bahasa di Ruang Publik

 

Sejak pendidikan SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi selalu ada mata pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi ruang publik kita masih saja bermasalah dengan bahasa nasional ini. Kata dan ungkapan makian kian marak terutama di dunia digital. Bahasa Indonesia juga tergerus dengan masifnya bahasa prokem atau bahasa gaul yang tumbuh subur menyasar anak-anak gen Z dan gen Alfa.

Hal itu terungkap dalam forum SUMBU TENGAH Edisi 3 yang digelar di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda pada Senin (28/7/2025).

Narasumbernya ada tujuh orang, yaitu Felanans Mustari, Muhammad Tirta Artesian, Jacinta Maharani Mulawarman, Celine Huang, Cinzy Grace, dan Muhammad Sarip. Acara dibuka oleh Kepala Balai Bahasa, Asep Juanda, dengan pewara Muhammad Abdan Dzul Arsyil Majid dan Bernike Gloria Nodeak serta dipandu oleh founder SUMBU TENGAH, Rusdianto.

“Misalnya dalam game online, bahasa para pemainnya penuh dengan umpatan seisi kebun binatang, dan mereka ini entitas yang banyak pelakunya terutama kaum muda,” ungkap Felanans yang meraih medali emas cabang esport Pekan Olahraga Wartawan Nasional XIV 2024.

Menurut Pemimpin Redaksi Kaltimkece.id. tersebut, di Jepang bahasa nasional mereka hanya diujikan kepada penutur non-Jepang.

“Tapi di Indonesia malah ada UKBI atau Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia untuk WNI di luar pendidikan formal sekolah,” ujar Felanans.


Rusdianto, jurnalis yang menciptakan lagu “Tapi Ini Samarinda” menyoroti penggunaan diksi-diksi baru yang diciptakan dengan sengaja untuk menggantikan diksi yang telah ada dalam KBBI.

“Sebagai contoh lawan kata haus di KBBI adalah palum. Tapi ada pengguna TikTok yang membuat kata galgah dan diikuti oleh banyak orang,” sebut Rusdi.

Tirta yang terpilih sebagai Duta Baca Kaltimtara 2025 berpendapat, pembuatan diksi baru bahasa Indonesia kadang ada yang diterima publik dan ada yang ditolak.

“Ivan Lanin membuat kata tagar untuk padanan _hashtag_. Tagar cukup diterima. Tapi ada diksi misalnya tetikus untuk mouse. Jarang ada yang mau memakai tetikus,” ungkap Tirta.

Sementara itu di luar ruang formal, Jacinta yang juga Duta Bahasa Kaltimtara mengaku kadang mendapat perlakuan berbeda dengan temannya yang lain.

“Kita memang berbahasa sesuai tempatnya. Tapi sebagai Duta Baca, kadang saya di tongkrongan diejek sambil bercanda karena menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Kadang saya tetap meneruskannya supaya teman-teman juga tahu ragam bahasa yang benarnya,” ungkap mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman tersebut.

Tidak hanya bahasa lisan, problematika bahasa juga terjadi bahasa tulisan. Sejarawan publik Muhammad Sarip mengungkapkan, dirinya menerima kritik dari kalangan muda mengenai karya bukunya terdahulu.

“Beberapa diksi atau ungkapan di buku saya yang lama ternyata ada yang tidak dipahami oleh kaum muda. Mereka lebih mudah paham ketika disebutkan padanannya dalam bahasa Inggris, ketimbang menggunakan diksi versi KBBI. Makanya pada buku terakhir saya, khususnya Histori Kutai dan Historipedia Kalimantan Timur, saya berkolaborasi dengan kawan muda yang sangat paham bahasa komunikasi di kalangan gen Z,” ungkap Sarip.

“Buku yang terbit tahun lalu, Historipedia Kalimantan Timur, bahasanya juga masih terasa milenial, kurang gen Z,” kritik Utih Arum Zahra, founder Kombaca Samarinda yang hadir di SUMBU TENGAH Edisi 3.

Sarip menyatakan, bahasa merupakan satu dari tujuh unsur kebudayaan yang fungsinya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi bersifat dinamis sesuai perkembangan zaman.

“Dulu di timur Kalimantan ini pernah digunakan bahasa Sanskerta untuk prasasti tertua yang ada di Kepulauan Nusantara. Tapi zaman sekarang bahasa Sanskerta boleh dibilang nyaris punah karena tidak ada lagi penuturnya di sini. Begitu pula bahasa daerah yang juga dinamis karena penuturnya berinteraksi dengan multietnis dan bercampur dengan bahasa Indonesia,” papar Sarip.

Seorang peserta dari guru SD Negeri di Samarinda, Alma Fadilla Putri, membagikan kisahnya ketika mengajar bahasa Indonesia di kelas 2. Dia menerangkan definisi “sahabat” dengan kalimat uraian, siswa banyak yang tidak memahami maknanya.

“Tapi ketika saya bilang sahabat itu bestie, anak-anak langsung paham,” ujar Alma.

Pengalaman Alma ditanggapi oleh Duta Baca Remaja Kota Samarinda, Celine Huang. Menurut pelajar SMA ini, realitas komunikasi pada generasi dia umumnya seperti itu.

“Cara yang dilakukan oleh guru dalam menjelaskan pelajaran kepada siswa sekarang memang harus menyesuaikan,” tutur Celine.

“Tapi dilematisnya, guru terikat dengan regulasi pemerintah tentang etika berbahasa dan silabus pendidikan,” tandas Sarip.

Di bagian akhir forum, Cinzy Grace yang seorang ventrilokuis alias seniman ilusi suara menampilkan cerita dongeng dengan bonekanya yang bernama Cinoy. Cinzy mengekspresikan cerita tutur pesut mahakam dengan dialog menarik bersama Celine.

SUMBU TENGAH tidak sekadar menampilkan aksi ventrilokuis, tapi juga menyediakan ruang bicara kepada si penampil sebagaimana narasumber lainnya. Cinzy diberikan kesempatan yang sama untuk merespons opini yang muncul dalam forum, baik dari sesama narasumber maupun dari audiens.

“Ventrilokuis itu berbicara dengan menggunakan media seperti boneka tanpa menggerakkan bibir. Biasanya memakai suara perut,” kata Cinzy.

Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa resmi Konferensi Umum UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada 2023.

“Penggunaan bahasa itu seperti pakaian. Ada tempatnya masing-masing,” kata Kepala Balai Bahasa Kaltim.

SUMBU TENGAH dengan akronim Solidaritas Usaha Membina Budaya Ucap, Tulis, Ekspresi, Nalar, Gagasan, Ajaran, dan Hikmah pada forum edisi 3 memberikan zine atau buletin cetak SUMBU TENGAH kepada seluruh peserta yang hadir.

Ventrilokuis Cinzy Grace menampilkan cerita pesut mahakam bersama Duta Baca Remaja Samarinda Celine Huang di SUMBU TENGAH Edisi 3 (foto Muhammad Fajar Saputra)


Jumat, 20 Juni 2025

Sisi Gelap Tambang Masa Kini dan Kaltim-Kaltara Masa Silam


Diskusi publik bertema "Sisi Gelap Tambang Masa Kini dan Kaltim-Kaltara Masa Silam" digelar di ruang mini teater Perpustakaan Kota Samarinda, Jumat (20/6/2025).

Ada lima narasumber yang tampil, yaitu Joko Supriyadi, Utih Arum Zahra, Arief Rahman, Muhammad Sarip, dan Ananta Tsabita. Diskusi dipandu oleh Rusdianto, seorang redaktur media sekaligus seniman musik yang pernah aktif di komunitas stand up comedy.

Joko Supriyadi adalah Ketua Yayasan Sejarah Budaya Kalimantan Utara. Alumnus S-2 ITB ini memaparkan sejarah tragedi Bulungan, Tidung, dan Kenyah atau yang dikenal dengan Bultiken.

“Terdapat kemiripan sejarah dan budaya antara Bulungan dan Kutai. Apa yang terjadi di Kaltim sangat besar pengaruhnya terhadap Kaltara,” tutur Joko.

Pembicara berikutnya, Utih Arum Zahra merupakan sosok dengan nama pena yang aktif mengulas isi buku dan bacaan di dunia maya sejak 2012. Utih mengulas buku Histori Kutai karya Muhammad Sarip, khusus subbab “Masa Kelabu Era Demokrasi Terpimpin-Orde Lama”.

“Tahun 1964–1965 merupakan periode paling kelam dalam sejarah Kesultanan Kutai setelah Daerah Istimewa Kutai dihapuskan pada 1960,” papar Utih.

Giliran Arief Rahman sebagai pengurus Wikipedia Bahasa Indonesia meluruskan beberapa kesalahpahaman yang beredar di publik mengenai situs Wikipedia.

“Situs ensiklopedia ini memang bebas diedit oleh pengguna, tetapi ada para administrator dan ribuan kontributor yang memantau editan sepanjang waktu. “Editan yang diterima di Wikipedia harus berbasis sumber seperti media terverifikasi Dewan Pers,” ujar pengurus pertama Wikipedia dari Kalimantan tersebut.

Arief juga menyatakan, catatan hitam tokoh dan sejarah kelam masa lalu akan tertulis abadi di Wikipedia.

“Wikipedia tidak bisa menulis atau menghapus teks berdasarkan intervensi negara, tetapi Wikipedia hanya berpegang pada referensi yang kredibel,” tambah Arief.

Sementara itu, Muhammad Sarip mengungkapkan proses penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan sulit mengakomodasi narasi sejarah Kaltim dan Kaltara secara lebih mendalam.

“Tidak diketahui adanya sejarawan dari Kalimantan yang terlibat dalam tim penulis SNI. Misi penulisan yang dikatakan mengubah perspektif kolonial-sentris menjadi Indonesia-sentris, implementasi sebenarnya adalah penulisan sejarah yang Jawa-sentris,” tandas Sarip.

Pembicara terakhir adalah Ananta Tsabita, mahasiswa S-1 Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Mulawarman. Gen Z peraih Juara 2 Lomba Cover Official Theme Song BKKBN Kalimantan Timur ini diberi kesempatan menampilkan vokal merdunya dengan menyanyikan lagu berjudul “Menjadi Manusia” ciptaan Rusdianto.

“Sebagai generasi muda, saya merasa perlu banyak belajar lagi mengenai permasalahan daerah, termasuk tambang yang merusak lingkungan, juga pengetahuan sejarah Kaltim yang masih minim,” ujar Tsabita.

Pada sesi tanya jawab, beberapa peserta mengungkapkan alasan mereka hadir karena ingin menyimak presentasi dari Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur Dr. Bambang Arwanto.

“Kami ingin mengetahui bagaimana progres Pemprov Kaltim menyikapi kasus tambang di Muara Kate dan juga di KRUS, tapi ternyata Kadis ESDM batal hadir,” keluh salah seorang peserta.

Terungkap bahwa sepekan sebelum acara, Kadis ESDM telah menyatakan kesediaan untuk menjadi pembicara pada forum Sumbu Tengah Edisi 2. Bahkan, sekitar 2 jam sebelum acara, ajudan Kadis masih mengonfirmasi kepada panitia mengenai latar belakang peserta.

Jadwal pelaksanaan pukul 14:00 Wita terpaksa mundur hingga 1 jam karena menunggu kedatangan Kadis. Namun, pihak Kadis ESDM kemudian mengirimkan pesan bahwa Kadis menemani Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud ke Kabupaten Kutai Barat meninjau perbaikan jalan.

Dari kiri Joko Supriyadi, Utih Arum Zahra, Arief Rahman, Rusdianto, Muhammad Sarip, Ananta Tsabita dalam forum SUMBU TENGAH Edisi 2, di Perpustakaan Kota Samarinda, 20 Juni 2025


Rabu, 28 Mei 2025

Sumbu Tengah Forum Bebas Berpendapat dan Ekspresi

Sepuluh pembicara lintas keilmuan dan portofolio tampil bersama dalam forum Sumbu Tengah yang digelar di Perpustakaan Kota Samarinda, Rabu (28/5/2025).

Mereka adalah Rusdianto, Briza Meidina Syakirah, Fajar Alam, Refinaya J, Maulani Al Amin, Muhammad Aria Gibraltar Syahid, Rahmat Surya, Krisdiyanto, Muhammad Al Fatih, dan Muhammad Sarip.

Kegiatan diskusi yang mengusung prinsip egaliter ini mengungkap fakta yang tak banyak diketahui publik.

Dikemukakan juga opini yang menurut sebagian orang tidak populer. Namun, forum menyadari bahwa kebebasan berbicara di negeri ini masih dibatasi oleh hukum negara seperti UU ITE.

Rusdianto selaku inisiator memulai dengan pembacaan puisi yang bermuatan satire terhadap tulisan-tulisan yang diklaim sebagai sastra.

Krisdiyanto selaku pedagang sembako mengungkap, jika harga barang kebutuhan pokok naik, yang paling diuntungkan justru negara, karena nominal pajak juga meningkat.

Seniman tari, teater, dan film Briza Meidina menyesalkan stereotipe yang negatif dari sebagian orang terhadap pekerja seni bidang tari.

“Pelecehan seksual juga sering terjadi dalam interaksi di dunia kesenian dan sinema. Makanya kalau kami reading naskah, ada teks yang berbunyi stop kekerasan dan pelecehan seksual,” ungkap Putri Tari Indonesia Kalimantan Timur 2023 itu.

Maulani, Pemred KPFM Samarinda yang sedang menyelesaikan studi S-2 Ilmu Komunikasi di UMB Jakarta membagikan pengalamannya dalam menekuni hobi membaca hingga tertarik bekerja di media pers.

Fatih, jurnalis Kaltimkece, menyatakan bahwa tugas karya jurnalistik dan seni adalah membuat orang ragu sehingga orang akan berpikir.

Refinaya dari Perempuan Mahardhika Samarinda menyebut, pembelaannya terhadap kaum tertindas berlaku universal, meskipun advokasi terhadap hak perempuan juga masih kurang.

Kami juga bersolidaritas dengan Palestina karena hak kemerdekaan tidak memandang apa suku, ras, dan agamanya,” ujar mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unmul itu.

Sementara itu, Fajar Alam yang juga ketua Prodi Teknik Geologi UMKT Samarinda mengemukakan hipotesis bahwa Kerajaan Kutai Kertanegara memindahkan ibu kota dari Kutai Lama ke Jembayan, tidak ke Samarinda, merupakan hal yang visioner.

“Boleh jadi ada pertimbangan geologis bahwa daratan Samarinda memang selalu terendam air pasang, sehingga tidak cocok didirikan pusat kerajaan,” kata Ketua Lasaloka-KSB tersebut.

Pembicara berikutnya, Gibraltar mereview buku novel berbahasa Inggris berjudul 1984 karya George Orwell.

“Quote dari buku ini, kebodohan adalah kekuatan. Buku ini tidak ingin masyarakat menjadi pintar. Untungnya buku ini dijual di Indonesia. Kalau tidak, negara kita akan satu deret dengan Korea Utara yang melarang peredaran buku ini,” papar Gibral.

Surya koordinator Gusdurian Samarinda menyoroti semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang masih tidak terealisasi, terkait kasus aktual pembangunan sebuah tempat ibadah di Samarinda.

 “Literasi maih menjadi persoalan karena ada sebagian orang yang berpikir bahwa perbedaan bukan rahmat, tetapi perbedaan itu harus diberantas,” sebut Surya.

Pembicara terakhir, Sarip mengemukakan, forum ini memberikan ruang bicara kepada person yang ingin berpendapat secara jujur tanpa gimik dan seremoni atas nama literasi.

Dengan pasal kontroversial dalam UU ITE, sebagian materi diskusi disepakati merupakan hal yang yang tidak dapat dipublikasikan atau “off the record”.

Sumbu Tengah yang digagas oleh Rusdianto ini merupakan akronim dari Solidaritas Usaha Membina Budaya Ucap, Tulis, Ekspresi, Nalar, Gagasan, Ajaran dan Hikmah.

Sumbu Tengah edisi perdana mengundang audiens terbatas karena pertimbangan komitmen peserta untuk tidak merekam dan menyebarluaskan isi pembicaraan forum, kecuali video resmi dari Sumbu Tengah yang telah melalui proses editing.

Peserta yang hadir yaitu Wandan Dewi Muria Sari, Nasya Rahaya, Vian, Alipf Laila, Muhammad Zaini, M Adi BS, Safia Sekar Batingka Bungas, Muhammad Fajar Saputra, Nita Widya, Nevrianto Hardi Prasetyo, Wahyu Musyifa, Erna, dan lain-lain.

Sepuluh pembicara pada forum diskusi Sumbu Tengah di Perpustakaan Samarinda 28 Mei 2025 (foto Nasya Rahaya-Kaltim Post)